Place
Kota Manado
Kota Manado adalah ibu kota provinsi Sulawesi Utara. Kota Manado seringkali disebut sebagai Menado.
Penulis: David Manewus | Editor: Dinar Fitra Maghiszha
TRIBUNNEWSWIKIMANADO.COM - Kota Manado adalah ibu kota provinsi Sulawesi Utara.
Kota Manado seringkali diucapkan dengan kata Menado.
Manado terletak di Teluk Manado, dan dikelilingi oleh daerah pegunungan.
Menurut website pemerintah Kota Manado, manadokota.go.id, kota ini memiliki 408.354 penduduk (Data Sensus 2010), dan menjadikannya sebagai kota terbesar kedua di Sulawesi setelah Makassar.
Jumlah penduduk di Manado diperkirakan (berdasarkan Januari 2014) berjumlah 430.790.
GEOGRAFIS
Kota Manado terletak di ujung utara pulau Sulawesi, dengan posisi geografis 124°40′ – 124°50′ Bujur Timur (BT) dan 1°30′ – 1°40′ Lintang Utara (LU).
Kota Manado memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24° – 27 °C.
Curah hujan rata-rata 3.187 mm/tahun dengan iklim terkering di sekitar bulan Agustus dan terbasah pada bulan Januari.
Intensitas penyinaran matahari rata-rata 53% dan kelembaban antara ±84 %.
WILAYAH DARATAN
Luas wilayah daratan Kota Manado adalah 15.726 hektare.
Manado juga merupakan kota pantai yang memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer.
Kota ini juga dikelilingi oleh perbukitan dan barisan pegunungan.
Wilayah daratannya didominasi oleh kawasan berbukit dengan sebagian dataran rendah di daerah pantai.
Interval ketinggian dataran antara 0-40% dengan puncak tertinggi di gunung Tumpa.
WILAYAH PERAIRAN
Wilayah perairan Kota Manado meliputi pulau Bunaken, pulau Siladen dan pulau Manado Tua.
Pulau Bunaken dan Siladen memiliki topografi yang bergelombang dengan puncak setinggi 200 meter.
Sedangkan pulau Manado Tua adalah pulau gunung dengan ketinggian ± 750 meter.
Sementara itu perairan teluk Manado memiliki kedalaman 2-5 meter di pesisir pantai sampai 2.000 meter pada garis batas pertemuan pesisir dasar lereng benua.
Kedalaman ini menjadi semacam penghalang sehingga sampai saat ini intensitas kerusakan Taman Nasional Bunaken relatif rendah.
AGAMA
Agama yang dianut oleh pendudukan Kota Manado adalah Kristen Protestan, Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu.
Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang beragama Kristen 62,10 persen, Katolik 5,02 persen, sedangkan Muslim 31,30 persen, sementara sisanya beragama lain.
Kehidupan agama yang begitu heterogennya, membuat masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis.
Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia.
Sewaktu Indonesia sedang rawan-rawannya disebabkan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia, Kota Manado dapat dikatakan relatif aman.
Hal tersebut kemudian menjadi semboyan masyarakat Manado yaitu Torang samua basudara yang artinya “Kita semua bersaudara”.
BAHASA
Bahasa yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Kota Manado dan sekitarnya disebut bahasa Manado.
Bahasa Manado menyerupai bahasa Indonesia namun memiliki logat yang khas.
Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari bahasa Lokal, bahasa Belanda, bahasa Portugis dan bahasa asing lainnya.
PENDUDUK
Sampai saat ini, mayoritas penduduk kota Manado berasal dari suku Minahasa.
Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena wilayah Manado merupakan berada di tanah/daerah Minahasa.
Penduduk asli Manado adalah sub suku Tombulu dilihat dari beberapa nama kelurahan di Manado yang berasal dari bahasa Tombulu, seperti: Wenang (Pohon Wenang/Mahawenang – bahan pembuat kolintang), Tumumpa (turun), Mahakeret (Berteriak), Tikala Ares (Walak Ares Tombulu, di mana kata ‘ares’ berarti dihukum), Ranotana (Air Tanah), Winangun (Dibangun), Wawonasa (wawoinasa – di atas yang diasah), Pinaesaan (tempat persatuan), Pakowa (Pohon Pakewa), Teling (Bulu/bambu untuk dibuat peralatan), Titiwungen (yang digali), Tuminting (dari kata Ting-Ting: Lonceng, kata sisipan -um- berarti menunjukkan kata kerja, jadi Tuminting: Membunyikan Lonceng), Pondol (Ujung), Wanea (dari kata Wanua: artinya negeri), dll.;
Sedangkan daerah Malalayang adalah dihuni oleh suku Bantik, suku bangsa lainnya yang ada di Manado saat ini yaitu suku Sangir, suku Gorontalo, suku Mongondow, suku Arab, suku Babontehu, suku Talaud, suku Tionghoa, suku Siau dan Borgo.
Karena banyaknya komunitas peranakan arab, maka keberadaan Kampung Arab yang berada dalam radius dekat Pasar ’45 masih bertahan sampai sekarang dan menjadi salah satu tujuan wisata agama.
Selain itu terdapat pula penduduk suku Jawa, suku Batak, suku Makassar dan suku Minangkabau Suku Aceh.
TOPOGRAFI
Manado, adalah kota terbesar kedua di Sulawesi setelah Makassar.
Kota Manado adalah kota yang indah karena terletak di tepi pantai.
Batas utara, timur dan selatan dikelilingi bukit landai, bergelombang, dan barisan pegunungan yang hijau.
Sementara sebelah barat dikelilingi oleh lautan yang dihiasi tiga pulau eksotik : Bunaken, Manado Tua dan Siladen, yang terkenal dengan pesona wisata bawah lautnya.
Keindahan alam, lingkungan sosial dan budayanya menyimpan banyak cerita.
Namun demikian, hanya sebagian saja yang tercatat dan terekam dalam sejarah, termasuk asal usul nama Manado tidak memiliki catatan dokumentasi yang lengkap, kecuali yang dimiliki oleh bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) yang datang menjajah karena terpesona oleh keindahan kekayaan alamnya.
ASAL USUL NAMA
Sampai saat ini, bukti fisik asal-usul nama Manado masih diperdebatkan.
Para akademisi dan tetua masyarakat masih memiliki interpretasi yang berbeda dalam hal asal-usul nama Manado.
Sebelum maju dan berkembang besar, Manado adalah bagian dari wilayah Minahasa.
Sampai tahun 1947, Manado masih merupakan wilayah Minahasa.
Wenang adalah nama pertama sebelum berubah menjadi Manado.
Menurut Prof. Geraldine Manoppo-Watupongoh, pergantian nama Wenang menjadi Manado dilakukan oleh Negara Spanyol pada tahun 1682.
Menurutnya, Manado diambil dari nama pulau di sebelah Bunaken, yaitu pulau Manado (kini Manado Tua).
Sedangkan sumber lainnya menyebutkan bahwa penggantian Wenang menjadi Manado bukan dilakukan oleh Spanyol, tetapi oleh Belanda.
Sebab tahun 1682 yang berkuasa dan menjajah Sulawesi Utara bukan lagi bangsa Spanyol, tetapi VOC Belanda, sebab pada tahun 1677 sampai 31 Agustus 1682, gubernur jenderal Hindia Belanda di Ternate, Dr. Robertus Padtbrugge datang di Manado mencatat sisa-sisa penduduk kerajaan Bowontehu (kini Manado Tua) termasuk yang ada di Sindulang.
Pergantian nama Wenang menjadi Manado diyakini dalam dokumen dan surat-surat penting bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda, lantaran nama Manado banyak tercantum dan lebih dikenal dibanding Wenang.
Tahun 1623, nama Manado mulai dikenal dan digunakan di dalam surat-surat resmi.
Itulah alasannya sehingga Wenang diganti menjadi Manado.
Untuk menjaga nilai sejarahnya, di belakang kata Manado ditambahkan kata tua, sehingga menjadi Manado Tua hingga saat ini.
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama Manado sebelumnya adalah Pogidon.
Pogidon sering diidentikan dengan Wenang.
Pogidon dan Wenang adalah dua negeri yang berbeda.
Wenang adalah negeri yang besar dan luas, yang kemudian namanya diubah menjadi Manado, sedangkan Pogidon adalah lokasi pemukiman kecil, yang merupakan bagian dari wilayah Wenang.
Pogidon merupakan akronim dari opo Gidon (nama pemimpin/leluhur Bantik), yang membangun negeri Pogidon.
Menurut beberapa sumber, daerah Korem 131 Manado, merupakan bekas negeri Pogidon.
Seiring dengan perjalanan waktu, sebutan opo Gidon berubah menjadi Po Gidon, lalu penulisannya dirangkai menjadi Pogidon dan digunakan sebagai nama pemukiman.
Sebelum menjadi lokasi pemukiman, negeri Pogidon banyak ditumbuhi pohon Wenang (Macaranga Hispida), yang dalam bahasa Bantik disebut Benang, sehingga negeri Pogidon oleh sub etnis Bantik disebut juga dengan nama Benang (bukan Wenang).
Sebagai nama pohon Macaranga Hispida, Wenang dan Pogidon memiliki arti yang sama, namun sebagai lokasi pemukiman, negeri atau wanua Pogidon tidak sama dengan Wenang.
BAHASA MANADO
Penyebutan Manado berasal dari bahasa daerah sub etnis di Sulawesi Utara.
Penyebutannya berbeda berdasarkan dialek masing-masing.
Bangsa Eropa menyebutnya berdasarkan lidah mereka.
Orang Portugis menyebutnya Moradores; orang Spanyol menyebutnya Manados; Nicolaas Graafland (seorang Pendeta asal Belanda yang bertugas di Tanawangko dan Sonder) di dalam judul bukunya menyebut Manadorezen; pejabat kompeni Belanda menyebutnya Manado’s Gebied, yang artinya daerah Manado ini atau kawasan Manado; Simao d’Abreu dan Antonio Galvao menyebutnya Manada, yang artinya kawanan, maksudnya kawanan pulau; dan orang Eropa lainnya menyebutnya Manado.
Berbagai versi penyebutan nama Manado tersebut dimungkinkan terjadi karena kesalahan penulisan atau penyalinan, serta dimungkinkan terjadi pengaruh pendengaran orang Eropa terhadap dialek bahasa lokal.
Jika benar demikian, itu adalah hal yang lumrah, sebab sampai kini masih banyak orang salah menyebut dan menulis nama Manado menjadi Menado.
Walaupun kata Manado berasal dari bahasa lokal, namun kata yang hampir punah ini diwarisi dari dokumen-dokumen bangsa Eropa.
Di dalam dokumen disebutkan bahwa nama Manado ditemukan oleh pelaut Portugis bernama Simao d’Abreu pada tahun 1523, dan merupakan pulau yang sudah berpenghuni sejak tahun 1339.
Namun Simao d’Abreu tidak mempublikasikan hasil temuannya itu.
Pada sekitar 32 tahun kemudian, yaitu tahun 1555, hasil temuannya dipublikasikan oleh Antonio Galvao, mantan gubernur Portugis di Maluku, di dalam bukunya yang berjudul Tratado.
Di dalam Tratado diuraikan kalimat pendek yang berbunyi, “Ou eram vista das ilhas de Manada…”, yang artinya “mereka melihat Manada ….” Manada di dalam bahasa Portugis bukan Manado, tetapi kawanan pulau.
Menurut sumber tersebut, kawanan pulau yang dimaksud kemungkinan adalah Manado Tua, Bunaken, Siladen, Mantehage dan pulau Nain.
Dua pulau yang disebutkan terakhir adalah wilayah Minahasa Utara.
Nicolaas Desliens pada tahun 1541, adalah orang Eropa lainnya asal Prancis mencantumkan nama Manado di peta dunia.
Dari mana Desliens mendapatkan nama Manado?
Kemungkinan dia mendapatkannya dari Simao d’Abreu.
Kalau hal ini benar terjadi, berarti d’Abreu telah membocorkan informasi rahasia; sebab saat itu bangsa Portugis menerapkan politik tutup mulut sebagai kebijakan bagian distrik (politica de sigilio); artinya semua yang mereka temukan tidak boleh diketahui oleh bangsa Eropa lainnya.
Manado yang dimaksudkan oleh Simao d’Abreu dan Antonio Galvao adalah Manado yang kini namanya berubah menjadi Manado Tua.
Bukan hanya orang Eropa yang memiliki banyak versi tentang nama Manado.
Etnis dan sub etnis di Sulawesi Utara pun memiliki nama yang berbeda tentang Manado.
Manado dalam bahasa tua Tombulu disebut Manaror, sub etnis Tontemboan menyebutnya Manarow, sementara etnis Sangihe menyebutnya Manaro.
Tak satu pun etnis dan sub etnis di Sulawesi Utara yang menyebut Manado mirip dengan apa yang didengar oleh Simao d’Abreu dan yang ditulis oleh Antonio Galvao, yaitu Manada.
Walaupun terdiri dari berbagai versi berbeda, tetapi yang pasti kata Manado adalah bahasa lokal di Sulawesi Utara yang hampir punah.
Nama Manado yang dikenal saat ini berasal dari kata Manarow atau Manadou (bahasa daerah Minahasa), yang artinya “dijauh”; suatu sebutan yang hampir sama dengan bahasa Sangihe, yaitu Manaro, yang artinya juga “dijauh” atau “negeri yang jauh”.
KRONOLOGIS TERBENTUKNYA KOTA MANADO
Berikut adalah kronologis terbentuknya Kota Manado yang dihimpun dari beberapa sumber:
Tanggal 1 Juli 1919: dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tahun 1951: Gemeente Manado menjadikan bagian daerah Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 223 tanggal 3 Mei 1951.
Tanggal 7 April 1951: Terbentuklah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Periode 1951 -1953 sesuai Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14
Tahun 1953: Daerah Bagian Kota Manado diubah statusnya Daerah Kota Manado, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954.
Tahun 1954: Manado Menjadi Daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri, sesuai PP No tahun 1953 yo PP No 56 Tahun 1954.
Tahun 1957: Manado menjadi Kota Praja, sesuai Undang–Undang Nomor 1 tahun 1957.
Tahun 1959: Kota Praja Manado di tetapkan kedudukannya sebagai daerah tinggat II Manado, sesuai Undang–Undang Nomor 29 tahun 1959.
Tahun 1965: Kota Praja Manado disempuranakan menjadi Kota Madya Manado dipimpin oleh Walikota Kepala Daerah Tingkat II sesuai Undang–Undang Nomor 18 tahun 1965 dan di sempurnakan lagi menjadi Walikotamadya Daerah Tingkat II, sesuai dengan Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
HARI JADI KOTA MANADO
Hari jadi Kota Manado yang ditetapkan pada tanggal 14 Juli 1623, yang merupakan momentum dari gabungan tiga peristiwa bersejarah sekaligus.
Tanggal 14 diambil dari peristiwa heroik yaitu peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, di mana putra daerah ini bangkit dan menentang penjajahan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian bulan Juli yang diambil dari unsur yuridis yaitu bulan Juli 1919, yaitu munculnya Besluit Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente dikeluarkan.
Sementara tahun 1623 diambil dari tahun di mana Kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi.
Sejak saat itu hingga sekarang tanggal tersebut terus dirayakan oleh masyarakat dan pemerintah Kota Manado sebagai hari jadi Kota Manado.
--
Sumber : Website Pemerintah Kota Manado, manadokota.go.id
--
(TRIBUNMANADOWIKI.COM/David Manewus)
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!